Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, di Jakarta, Selasa (12/04/2022).
Direktur Eksekutif Badan Koordinasi Nasional Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (Bakornas LKBHMI) PB HMI, Syamsumarlin mengatakan bahwa pengesahan UU TPKS ini menegaskan kehadiran negara dalam memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan serta pemenuhan hak-hak bagi korban kekerasan seksual, termasuk hak yang berkaitan dengan dana pemulihan korban dan restitusi.
Pihaknya memberikan apresiasi bagi seluruh stakeholder yang berjuang dan mendukung pengesahan Undang-undang yang diketahui sejak lama dinanti oleh masyarakat Indonesia ini.
"Kita mengapresiasi segala perhatian, komitmen dan dedikasi kepada semua pihak, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang ditunjuk menjadi leading sector mewakili presiden dalam penyusunan pandangan pemerintah dan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RUU TPKS juga pihak kementerian/lembaga lain dari unsur pemerintah dan pihak legislatif yang tergabung dalam Panitia Kerja RUU TPKS, serta seluruh pihak yang berjuang dalam mendukung langkah progresif ini", ucap Syamsumarlin.
Sebelumnya diketahui, pada Rabu (6/4), Badan Legislasi DPR dan pemerintah menyetujui RUU TPKS dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Delapan dari sembilan fraksi dalam rapat pleno ini sepakat RUU TPKS disahkan menjadi UU di sidang paripurna DPR, yakni Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN dan Fraksi PPP.
Sementara itu, Fraksi PKS menolak RUU TPKS disahkan menjadi UU sebelum RUU KUHP disahkan.
Dalam UU TPKS tersebut, berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) disebutkan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas:
a. pelecehan seksual nonfisik;
b. pelecehan seksual fisik;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan sterilisasi;
e. pemaksaan perkawinan;
f. penyiksaan seksual;
g. eksploitasi seksual;
h. perbudakan seksual; dan
i. kekerasan seksual berbasis elektron
Sementara itu pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa selain tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi:
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Komentar