Siapa yang tidak kenal dengan Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur seorang tokoh pembaharu pemikiran islam dan juga Ketua Umum PB HMI dua peroide (1966-1971). Cak Nur lahir di Jombang Jawa Timur 17 Maret 1939, beliau meninggal di Jakarta 29 Agustus 2005.
Cak Nur adalah sosok yang sederhana dalam penampilannya. Ia senang berkemeja tangan pendek. Cita-cita masa kecilnya menjadi seorang masinis kereta api. Keyakinan bahwa kebenaran memiliki kekuatannya sendiri untuk membela dirinya begitu kuat terpancar dalam setiap pemikiran dan sikapnya.
Pemahaman akan akar-akar historis yang melandasi berbagai pemikiran dan peradaban umat manusia dikuasainya secara mendalam dan meluas. Dalam memandang dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan, selalu mempertimbangkan aspek keadilan dan jalan tengah. Ide-idenya banyak menginspirasi berbagi kelompok dan individu. Kekuatan pemikiran, ditambah kesantunan dan ketenangan dalam melihat berbagai persoalan menjadi ciri utama kepribadiannya.
Paragraf itulah yang sedikit bisa menggambarkan sosok seorang Cak Nur. Solichin mengidentikkan Cak Nur sebagai seorang "Begawan Abiyasa", yang lengser dari Raja Hastina yang penuh kebesaran, memilih menjadi pendeta di Padepokan Retawu yang terletak di gunung Saptaarga.
Mungkin kasus menolaknya Cak Nur menjadi ketua Dewan Reformasi yang diminta Pak Harto pada Mei 1998 bisa juga di tafsir demikian. Dalam hal penolakan posisi yang diperebutkan banyak orang itu, Wahyuni Nafis pernah bertanya kepada Cak Nur: mengapa Cak Nur tidak menerima tawaran Pak Harto? Bukankah menjadi ketua dewan reformasi merupakan jalan mulus untuk menjadi seorang Presiden? Wahyuni Nafis kaget karena Cak Nur memberi jawaban yang menurut ia waktu itu tidak substansial. Cak Nur berkata "Saya menolak tawaran itu karena dua hal", tegasnya. "Pertama, karena saya salah satu dari sembilan wali yang diundang ke istana oleh pak Harto untuk memberikan masukan pada saat situasi penuh ketegangan menjelang kemundurannya menjadi Presiden setelah di genggamnya selama kurang lebih 32 tahun. Kata Cak Nur, kalau tawaran itu ia terima, berarti masukan yang ia berikan jelas layak dinilai oleh banyak orang tidak murni alias tidak ikhlas. Kedua, saat itu Cak Nur termasuk orang yang belum berkeringat dalam memperebutkan kursi Presiden. Itu artinya, jika tawaran itu diterima oleh Cak Nur, berarti sama saja ia dengan menjilat ludah sendiri, karena ia secara tegas pernah mengatakan bahwa calon Presiden itu harus berjuang, berkampanye dan berkeringat dulu". Demikian penegasan dari Sang Begawan (Cak Nur).
Tapi kenapa Cak Nur menjelang Pemilu Presiden tahun 2004 mendeklarasikan diri sebagai orang yang bersedia dicalonkan menjadi calon Presiden? Saat itu banyak orang, dari mulai mahasiswa, wartawan, dosen, politisi, pengusaha, memperbincangkan kesediaan Cak Nur menjadi calon Presiden. Berbagai artikel pun pada saat itu muncul berhamburan di berbagai media ibukota. Sebagiannya senang, menyambut pencalonan Cak Nur dengan penuh optimisme. Sebagian yang lain sinis, bahkan mencela Cak Nur sebagai cendekiawan yang sudah kelelahan dan tidak tahan berhadapan dengan bujuk-rayu kekuasaan yang sangat menjanjikan hidup penuh kebesaran itu.
Bagi Wahyuni Nafis, apa yang dilakukan Cak Nur berkenaan dengan deklarasinya itu merupakan gagasan pembaruan di bidang politik. Hal itu terlihat dalam beberapa alasan berikut ini. Pertama, Cak Nur tidak mempunyai partai politik, juga bukan aktivis dan anggota partai politik. Dalam bahasa Prof. Karl Manheim, apa yang dilakukan Cak Nur adalah utopia. Karena berada di luar mainstream fakta politik di tanah air. Karena itu bersedianya Cak Nur di calonkan menjadi calon Presiden itu, seperti saya tegaskan di atas, merupakan tindakan pembaharuan pemikiran di bidang politik yang derajatnya sama dengan gagasannya tentang "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" yang di presentasikan pada 2 Januari 1970. Jadi, kesediaannya dicalonkan menjadi calon Presiden yang tanpa Parpol tapi disertai platform yang jelas itu, memiliki derajat yang juga sama dengan gagasannya tentang "Islam yes; partai islam, No" dan perlunya "sekularisasi" dalam beragama. Dan sebagaimana gagasannya pada tahun 1970 yang mengundang reaksi sangat keras dari banyak masyarakat, maka gagasan kesediaan Cak Nur untuk dicalonkan menjadi calon Presiden di luar parpol itu pun di tentang oleh semua partai politik yang ada. Jangankan Cak Nur yang berada diluar parpol, para pengurus dan anggota parpol saja belum tentu bisa di daftarkan menjadi calon Presiden. Partai Golkar yang disebut-sebut waktu itu akan mencalonkan Cak Nur menjadi Presiden, justru dalam rapimnasnya melahirkan konsep konvensi.
Konsep seleksi yang berupa konvensi itu memang sangat positif hingga Cak Nur terundang untuk mengikuti "beauty contest" tersebut. Tapi apa yang terjadi ketika Cak Nur memulai turun ke daerah-daerah, yang ditanya adalah "gizi", bukan konsep yang dimiliki Cak Nur. Menyaksikan realitas politik semacam itu, jelas bertolak belakang dengan gagasan moral politik yang akan di jalani Cak Nur. Karena itu, Cak Nur pun akhirnya mengundurkan diri.
#YakinUsahaSampai
Sumber Buku: Kata Pengantar Muhammad Wahyuni Nafis "Wasiat itu Pemikiran dan Keteguhannya" dalam buku Wasiat Sang Begawan oleh Solichin.
Paragraf itulah yang sedikit bisa menggambarkan sosok seorang Cak Nur. Solichin mengidentikkan Cak Nur sebagai seorang "Begawan Abiyasa", yang lengser dari Raja Hastina yang penuh kebesaran, memilih menjadi pendeta di Padepokan Retawu yang terletak di gunung Saptaarga.
Mungkin kasus menolaknya Cak Nur menjadi ketua Dewan Reformasi yang diminta Pak Harto pada Mei 1998 bisa juga di tafsir demikian. Dalam hal penolakan posisi yang diperebutkan banyak orang itu, Wahyuni Nafis pernah bertanya kepada Cak Nur: mengapa Cak Nur tidak menerima tawaran Pak Harto? Bukankah menjadi ketua dewan reformasi merupakan jalan mulus untuk menjadi seorang Presiden? Wahyuni Nafis kaget karena Cak Nur memberi jawaban yang menurut ia waktu itu tidak substansial. Cak Nur berkata "Saya menolak tawaran itu karena dua hal", tegasnya. "Pertama, karena saya salah satu dari sembilan wali yang diundang ke istana oleh pak Harto untuk memberikan masukan pada saat situasi penuh ketegangan menjelang kemundurannya menjadi Presiden setelah di genggamnya selama kurang lebih 32 tahun. Kata Cak Nur, kalau tawaran itu ia terima, berarti masukan yang ia berikan jelas layak dinilai oleh banyak orang tidak murni alias tidak ikhlas. Kedua, saat itu Cak Nur termasuk orang yang belum berkeringat dalam memperebutkan kursi Presiden. Itu artinya, jika tawaran itu diterima oleh Cak Nur, berarti sama saja ia dengan menjilat ludah sendiri, karena ia secara tegas pernah mengatakan bahwa calon Presiden itu harus berjuang, berkampanye dan berkeringat dulu". Demikian penegasan dari Sang Begawan (Cak Nur).
Tapi kenapa Cak Nur menjelang Pemilu Presiden tahun 2004 mendeklarasikan diri sebagai orang yang bersedia dicalonkan menjadi calon Presiden? Saat itu banyak orang, dari mulai mahasiswa, wartawan, dosen, politisi, pengusaha, memperbincangkan kesediaan Cak Nur menjadi calon Presiden. Berbagai artikel pun pada saat itu muncul berhamburan di berbagai media ibukota. Sebagiannya senang, menyambut pencalonan Cak Nur dengan penuh optimisme. Sebagian yang lain sinis, bahkan mencela Cak Nur sebagai cendekiawan yang sudah kelelahan dan tidak tahan berhadapan dengan bujuk-rayu kekuasaan yang sangat menjanjikan hidup penuh kebesaran itu.
Bagi Wahyuni Nafis, apa yang dilakukan Cak Nur berkenaan dengan deklarasinya itu merupakan gagasan pembaruan di bidang politik. Hal itu terlihat dalam beberapa alasan berikut ini. Pertama, Cak Nur tidak mempunyai partai politik, juga bukan aktivis dan anggota partai politik. Dalam bahasa Prof. Karl Manheim, apa yang dilakukan Cak Nur adalah utopia. Karena berada di luar mainstream fakta politik di tanah air. Karena itu bersedianya Cak Nur di calonkan menjadi calon Presiden itu, seperti saya tegaskan di atas, merupakan tindakan pembaharuan pemikiran di bidang politik yang derajatnya sama dengan gagasannya tentang "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" yang di presentasikan pada 2 Januari 1970. Jadi, kesediaannya dicalonkan menjadi calon Presiden yang tanpa Parpol tapi disertai platform yang jelas itu, memiliki derajat yang juga sama dengan gagasannya tentang "Islam yes; partai islam, No" dan perlunya "sekularisasi" dalam beragama. Dan sebagaimana gagasannya pada tahun 1970 yang mengundang reaksi sangat keras dari banyak masyarakat, maka gagasan kesediaan Cak Nur untuk dicalonkan menjadi calon Presiden di luar parpol itu pun di tentang oleh semua partai politik yang ada. Jangankan Cak Nur yang berada diluar parpol, para pengurus dan anggota parpol saja belum tentu bisa di daftarkan menjadi calon Presiden. Partai Golkar yang disebut-sebut waktu itu akan mencalonkan Cak Nur menjadi Presiden, justru dalam rapimnasnya melahirkan konsep konvensi.
Konsep seleksi yang berupa konvensi itu memang sangat positif hingga Cak Nur terundang untuk mengikuti "beauty contest" tersebut. Tapi apa yang terjadi ketika Cak Nur memulai turun ke daerah-daerah, yang ditanya adalah "gizi", bukan konsep yang dimiliki Cak Nur. Menyaksikan realitas politik semacam itu, jelas bertolak belakang dengan gagasan moral politik yang akan di jalani Cak Nur. Karena itu, Cak Nur pun akhirnya mengundurkan diri.
#YakinUsahaSampai
Sumber Buku: Kata Pengantar Muhammad Wahyuni Nafis "Wasiat itu Pemikiran dan Keteguhannya" dalam buku Wasiat Sang Begawan oleh Solichin.
Komentar