"MEMUDARNYA PENGETAHUAN KE-ISLAMAN DI TUBUH HMI"
HMI berdiri pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Sebagai organisasi yang berazaskan Islam, tentu saja gerak dan langkahselalu seiring dengan gerakan perkembangan agama Islam sebagai agama perjuangan, dan inilah menentukan dan mengilhami kelahiran HMI. Salah satu latar belakang berdirinya HMI yaitu Situasi Umat Islam Indonesia. Lafran Pane pada saat itu melihat ada tiga golongan umat Islam di Indonesia:
1. Golongan alim ulama dan pengikutnya, yang mengenal dan mempraktikan agama Islam sesuai yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. seperti tersebut dalam hadist-hadist dan riwayat.
2. Golongan alim ulama dan pengikutnya, yang terpengaruh oleh mistik yang menyebabkan mereka ini menganggap, hidup ini hanya akhirat belaka.
3. Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman selaras dengan wujud dan hakikat dari agama Islam.
Pandangan Lafran Pane diatas menunjukkan bahwa sebelum berdirinya HMI, pengetahuan umat Islam tentang ajaran Islam masih sangat kurang. Inilah yang mengilhami Lafran Pane mendirikan HMI.
Didalam suatu organisasi Islam tentu ada sebuah pedoman pengajaran tentang ke-Islaman. Di HMI sendiri memiliki pedoman yang bernama Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang disusun oleh Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Syakib Mahmud. NDP kemudian menjadi ideologi perjuangan HMI. NDP ini juga lah yang digunakan dalam proses perkaderan HMI, untuk mengajarkan ke-Islaman kepada kader HMI. Tetapi pada saat ini, entah pemateri yang tidak mampu menyampaikan materi NDP sehingga sebagian peserta tidak memahami materi tersebut atau peserta sendiri yang tidak mampu menerima materi tersebut, karena mereka tidak mempunyai pengetahuan ke-Islaman sebelumnya. Maka tidak heran selepas LKI, ketika mereka ditanya tentang apa yang mereka dapatkan dari NDP, jawaban mereka hanya berkisar pada Surga dan Neraka itu tidak ada.
Realitas yang ada saat ini bahwa sebagian kader HMI, tidak melaksanakan sholat lima waktu bahkan ada yang tidak sholat pada hari jumat. Mereka lebih memilih tidur atau main handphone ketimbang mereka melaksanakan sholat. Dalam urusan membaca Al-Quran banyak kader yang masih terbata-bata membacanya, tetapi mereka masih diloloskan dalam screening LK2. Padahal mereka tidak layak untuk lolos, karena untuk dapat mengikuti screening selanjutnya haruslah mahir dalam membaca Al-Quran.
Masalah ini harus dikembalikan ke komisariat dan cabang masing-masing untuk mendidik kadernya, supaya mereka lebih memahami ke-Islaman. Cak Nur mengatakan mahasiswa yang ikut HMI haruslah lebih tinggi pengetahuannya dibanding mahasiswa yang tidak ikut HMI. Kenyataannya saat ini kader HMI yang pengetahuan ke-Islamannya diatas rata-rata ialah kader yang kuliah di perguruan tinggi Islam. Mereka banyak mendapat pengetahuan Islam bukan di HMI tetapi di kampus. Bukankah mahasiswa pada awalnya tertarik masuk di HMI, karena ingin belajar Islam. Maka dari itu jangan heran banyak kader yang tidak aktif di HMI, karena persoalan tidak mendapatkan pengetahuan tentang Islam di HMI, justru mereka lebih banyak mendapat pengetahuan tentang politik praktir dan lobi-lobi untuk kepentingan individu bukan kepentingan organisasi.
HMI pernah mempunyai kader yang dikenal sebagai tokoh Islam Indonesia, diantaranya adalah Prof. Lafran Pane, Prof. Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Amien Rais, Prof. Azyumardi Azra, Dr. Bachtiar Effendy, Fachry Ali dll.
Dengan usia HMI yang ke-72 tahun, semoga ada perbaikan dalam diri kader. Kita juga malu sebagai kader HMI, jika pengetahuan ke-Islaman kita kalah dibandingkan dengan mahasiswa pada umumnya.
#Yakin Usaha Sampai
Komentar